Masihkah Anda dapat mengingat masa dimana
Anda mulai tertarik dengan sesorang dan merasa jatuh cinta kepadanya?
Masa dimana Anda akan melakukan berbagai hal untuk dapat menarik
perhatian orang yang Anda sukai — mulai dari melakukan berbagai hal cheesy
seperti menyukai segala hal yang ia sukai hingga berusaha menjadi sosok
yang selama ini berbeda dari kepribadian yang selama ini Anda
tampilkan. Cinta memang sebuah kekuatan yang aneh. Pada beberapa orang,
cinta dapat memberikan sebuah pengaruh buruk. Namun untungnya, pada
banyak orang lainnya, cinta membuat mereka untuk menjadi sesosok manusia
yang lebih baik bagi orang yang mereka cintai.
Dalam Crazy Little Thing Called Love,
seorang gadis berusia 14 tahun, Nam (Pimchanok Luevisetpaibool), untuk
pertama kalinya merasakan adanya getaran cinta di dalam hatinya kepada
salah seorang seniornya, Chon (Mario Maurer). Masalahnya, dengan wajah
Chon yang sangat tampan — dan ditambah dengan kepribadian yang menarik
serta kemampuan olahraga yang mengagumkan — Nam bukanlah satu-satunya
gadis di sekolah tersebut yang jatuh hati terhadap Chon. Dengan wajah
dan kepribadian yang biasa saja, jelas Nam bukanlah seorang kontender
favorit yang dapat memenangkan hati Chon. Dengan bantuan teman-temannya,
dan sebuah buku yang berisi berbagai metode untuk mendapatkan hati
seorang pria, Nam mulai melakukan berbagai prubahan pada dirinya. Suatu
perubahan yang secara perlahan, tanpa disadari Nam, malah membuatnya
menjadi seorang yang lebih baik dari sebelumnya.
Ya… jalan cerita Crazy Little Thing Called Love sangatlah sederhana dan cenderung cheesy. Sama sederhana dan cheesy-nya
dengan pengalaman siapapun pada saat mereka sedang mengalami jatuh
cinta untuk pertama kalinya. Dengan jalan cerita yang sangat familiar,
jelas keunggulan utama film ini bukan berada pada departemen penulisan
naskah. Walau begitu, naskah cerita yang ditulis oleh dua sutradara film
ini, Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon dan Wasin Pokpong, sama
sekali tidak buruk mengingat mereka berhasil memadukan jalan cerita yang
sederhana dan familiar tersebut dengan elemen komedi yang banyak
tercermin dari dialog-dialog yang segar di sepanjang film ini serta,
tentu saja, kisah cinta yang mampu menyentuh siapapun yang pernah
merasakan jatuh cinta itu sendiri. Cukup manis huh?
Sama seperti film-film drama komedi
sejenis yang mengisahkan mengenai transformasi seorang karakter yang
biasa saja pada awalnya menjadi seorang karakter yang menarik di akhir
cerita, Crazy Little Thing Called Love juga berjuang untuk
mempertahankan sisi menarik kisahnya ketika sang karakter utama telah
berubah menarik. Sayangnya, usaha ini dapat dikatakan kurang begitu
dapat dieksekusi dengan baik ketika bagian pertengahan film ini terasa
sedikit hambar jika dibandingkan dengan bagian sebelumnya. Plot cerita
tambahan mengenai guru Nam, Inn (Sudarat Budtporm), yang dikisahkan
mengejar perhatian guru lainnya, juga kurang berhasil mengisi kekosongan
ruang dalam film ini dan seringkali hanya terasa sebagai perulangan
kisah cinta Nam namun berasal dari karakter yang lebih dewasa.
Letak keberhasilan utama Crazy Little Thing Called Love
dalam menyampaikan jalan ceritanya adalah karena sutradara film ini
berhasil mendapatkan jajaran pemeran yang mampu dengan sangat baik
menghidupkan setiap karakter yang mereka bawakan, khususnya Pimchanok
Luevisetpaibool yang berhasil memerankan karakter Nam dan menjadikannya
sebagai sesosok karakter yang sangat menyenangkan di balik seluruh
keluguannya dalam mengenal cinta pertamanya. Karakter Nam sendiri
menjadi terasa begitu hidup berkat dukungan tiga karakter sahabatnya
yang selalu dapat diandalkan dalam memberikan berbagai adegan komedi
untuk film ini.
Sebagai lawan main Pimchanok
Luevisetpaibool, aktor muda, Mario Maurer, memang sangat tepat untuk
memerankan Chon yang menjadi idola seluruh gadis di sekolahnya. Walau
sepertinya hal tersebut tidak membutuhkan kemampuan akting yang terlalu
mendalam, penampilan Maurer sebagai Chon tidak sepenuhnya mengecewakan.
Setidaknya ia juga berhasil dalam menampilkan sisi sensitif karakternya
yang datang ketika karakter tersebut berhubungan dengan masalah masa
lalu sang ayah atau perjuangannya dalam berusaha untuk membuktikan
kemampuannya dalam bidang fotografi dan sepakbola.
Seperti film-film drama komedi romansa remaja karya John Hughes di tahun 1980-an, Crazy Little Thing Called Love
cukup mampu menuturkan sebuah kisah cinta pertama yang familiar dengan
ritme komedi yang sangat menghibur. Durasi yang mencapai 118 menit
memang sedikit terlalu panjang mengingat beberapa adegan di film ini
justru terasa hambar akibat eksekusi atas jalan cerita yang dilakukan
terlalu berlebihan dan bertele-tele. Beberapa karakter dan plot cerita
tambahan juga kurang begitu mampu dikembangkan dengan baik, walaupun
setiap pemerannya berhasil memberikan gambaran yang cukup baik atas
karakter yang mereka perankan. Bukan sebuah karya yang istimewa namun
cukup berhasil menjadi sebuah hiburan yang menyegarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar